Memupuk Kepercayaan Publik terhadap Ilmu Pengetahuan

IDSCL- Kepercayaan publik (public trust) terhadap keahlian ilmiah memegang peranan yang sangat vital dalam masyarakat, sebab menentukan bagaimana kita menerima, memahami, dan bertindak atas dasar informasi ilmiah. Walau terkadang ada kemungkinan kesalahan, namun seringkali, masyarakat awam akan mendapatkan manfaat yang lebih besar dengan mengindahkan saran dari para ahli ilmiah ketimbang mengesampingkannya.

Pada konteks pandemi COVID-19, kepercayaan juga telah terbukti berhubungan dengan angka kematian di negara – negara Eropa dan hasil penting lainnya. Meskipun hubungan antara kepercayaan dan ketaatan dapat dipengaruhi oleh faktor seperti afiliasi politik, kepercayaan secara keseluruhan memainkan peran yang signifikan. Penelitian sebelumnya juga telah mengkaji adanya hubungan antara kepercayaan dan ketaatan selama wabah lain seperti Ebola, HIV/AIDS, dan H1N1 (ibid.).

Berkaca pada hal tersebut, masyarakat awam sejatinya memerlukan ilmu pengetahuan dalam aktivitas sehari-hari. Sains berpotensi untuk meningkatkan kualitas hidup manusia di seluruh dunia, akan tetapi kepercayaan publik terhadap ilmu pengetahuan seringkali terguncang oleh banyak sebab. Meskipun prinsip dan metode umumnya didukung, kepercayaan pada otoritas ilmiah atau institusi diketahui menurun seiring waktu.

Menariknya, hasil survei baru – baru ini di Inggris menunjukkan bahwa krisis seperti pandemi COVID-19 berhasil meningkatkan kepercayaan publik pada ilmu pengetahuan. Selama pandemi, ilmu pengetahuan, terutama genetika, mendapatkan perhatian yang belum pernah terjadi sebelumnya berkat tes PCR dan pengembangan vaksin COVID-19.

Mengingat bahwa kita juga sudah memasuki era hidup bersama COVID-19, pertanyaannya adalah apakah peningkatan kepercayaan masyarakat terhadap ilmu pengetahuan ini merupakan perubahan jangka panjang? Di era berita palsu, fakta alternatif, dan keyakinan bahwa opini dan ideologi lebih berharga daripada bukti empiris dan metode ilmiah, lantas, bagaimana seharusnya ilmu pengetahuan meresponsnya? Untuk memahami fluktuasi kepercayaan publik ini, kita perlu memahami dasar-dasar psikologisnya.

Understanding public trust in science requires learning the science of public trust.

Public trust memiliki banyak dimensi. Dimensinya merujuk pada ‘tingkat’ atau ‘komponen psikologis’ yang terkait dengan ‘faktor-faktor apa yang membuat orang percaya atau tidak percaya’, yang dapat dipengaruhi oleh; (1) persepsi tentang karakteristik informasi yang diterima; (2) persepsi tentang risiko yang dikelola atau dikomunikasikan; (3) persepsi tentang karakteristik institusi; (4) karakteristik individu dan sosio-budaya dari mereka yang menunjukkan kepercayaan.

1. Persepsi tentang karakteristik informasi yang diterima
Contoh: Jumlah dan cara penyajian informasi berpengaruh pada kepercayaan publik.
Jika informasi risiko yang diberikan terlalu sedikit, publik akan sulit percaya akan risiko. Jika informasi yang diberikan terlalu banyak, publik juga dapat tidak percaya karena merasa bahwa informasi mungkin telah dimanipulasi. Keyakinan sebelumnya memainkan peran moderasi, di mana pesan yang seimbang dianggap lebih dapat dipercaya oleh individu dengan keyakinan negatif atau netral tentang isi pesan tersebut.

2. Persepsi tentang risiko yang dikelola atau dikomunikasikan
Contoh: Kasus makanan hasil rekayasa genetika (GM) di Inggris.
Intensitas liputan di media mungkin telah menyebabkan peningkatan persepsi risiko, yang dapat berkontribusi pada penurunan kepercayaan publik terhadap institusi yang bertanggung jawab dalam mengelola makanan GM.

3. Persepsi tentang karakteristik institusi
Jika sebuah institusi dipandang kompeten, jujur, dan terbuka, orang cenderung lebih percaya padanya. Sebaliknya, jika sebuah institusi dipandang tidak kompeten, tidak jujur, atau suka menyembunyikan informasi, orang cenderung lebih tidak percaya.

4. Karakteristik individu dan sosio-budaya dari mereka yang menunjukkan kepercayaan
Orang yang memiliki pengetahuan dan pendidikan lebih tinggi cenderung lebih percaya pada institusi atau sumber informasi yang memberikan informasi akurat dan terperinci. Sebaliknya, orang yang pengetahuannya lebih rendah cenderung tidak percaya pada institusi atau sumber informasi yang sama jika mereka menganggap informasinya terlalu kompleks atau sulit dipahami (ibid.).

Kepercayaan terhadap ilmu pengetahuan sendiri dipengaruhi oleh banyak faktor, dari umur, jenis kelamin, ideologi politik, dan religiositas. Pria muda liberal non-religius cenderung untuk lebih mempercayai sains. Pendidikan, pendapatan, dan pengetahuan sains juga secara positif memprediksi kepercayaan pada ilmu pengetahuan. Selain itu, penggunaan media juga terbukti menjadi prediktor penting. Penggunaan TV dan media berita konservatif berkorelasi negatif dengan kepercayaan pada ilmu pengetahuan.

Selanjutnya, konsep kepercayaan akan metode ilmiah berbeda dengan kepercayaan akan institusinya, korelasi di antaranya juga rendah. Kepercayaan masyarakat akan otoritas ilmiah juga dibedakan ke beberapa tingkat. Masyarakat bisa melihat seorang ahli ilmiah sebagai terampil dan pintar, tetapi ragu akan komitmen mereka akan kepentingan publik (public good).

Kemudian, masyarakat juga lebih memberikan kesan positif ketika budaya ilmiahnya menekankan komunalitas daripada agensi (ibid.). Seorang ilmuwan yang digambarkan sebagai pencari kekuasaan dapat berdampak pada munculnya kesimpulan publik akan motif komunal dirinya. Menekankan motif prososial serta kolaborasi dapat meningkatkan kepercayaan publik akan ilmuwan dan bahkan keinginan untuk mempelajari informasi sains lebih lanjut.

Bahkan, sebuah studi di tahun 2023 menemukan bahwa kualitas interaksi antara petugas kesehatan dengan pengasuh/pasien mengenai vaksinasi adalah faktor kunci dalam penerimaan vaksin. Di mana, salah satu dasar penerimaan vaksin adalah kepercayaan publik, termasuk kepercayaan pada vaksin, pengembangan vaksin, sistem kesehatan, dan pemerintah.

Transparansi dalam ilmu pengetahuan juga dapat membantu membangun kembali kepercayaan dengan cara mendeteksi kesalahan, memastikan akuntabilitas penulis, dan mengurangi kesenjangan informasi. Meskipun tidak menangkap semua fraud, penanganan unintentional misinterpretation tidaklah kalah penting. Jurnal ilmiah selaku gate-keeper harus mengutamakan transparansi, kualitas artikel, dan pedoman seperti Transparency and Openness Promotion (TOP).

Hanya memberikan informasi yang jujur mungkin tidak cukup. Komunikasi yang efektif, transparansi, isi pesan, informasi yang bertentangan, dan kepercayaan terhadap sumber informasi memengaruhi bagaimana ilmu pengetahuan dapat dipercaya dan disebarkan.

Diterbitkan oleh paulineciuputri

Research Assistant at Indonesian Science Communication Lab (IDSCL). Connect with me at bit.ly/PaulineLinkedin

Tinggalkan komentar

Eksplorasi konten lain dari Indonesian Science Communication Labs (IDSCL)

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan membaca