Sains dan Agama: Rival Abadi atau Sekutu Harmonis?

Sains dan agama telah lama dianggap sebagai dua kekuatan yang bertentangan dalam pencarian manusia untuk memahami dunia. Selama berabad-abad, perdebatan antara sains dan agama telah menjadi topik yang tak kunjung reda. Beberapa menganggap keduanya sebagai dua kutub yang saling bertentangan, sementara yang lain melihatnya sebagai dua pendekatan yang saling melengkapi dalam memahami dunia.

Namun, telaah terbaru yang diterbitkan dalam Psychological Review berjudul Longtime nemeses or cordial allies? How individuals mentally relate science and religion oleh Rizqy Amelia Zein, Marlene Sophie Altenmüller, dan Mario Gollwitzer menawarkan perspektif yang memberikan nuansa di luar pertentangan dua kutub terdahulu. Mereka mengungkapkan bahwa pandangan konflik yang sering dipegang oleh masyarakat Barat mungkin terlalu menyederhanakan realitas yang lebih kompleks.

Banyak orang menganggap bahwa untuk menerima sains, seseorang harus menolak agama, dan sebaliknya. Pandangan ini diperkuat oleh kontroversi terkenal seperti perdebatan tentang teori evolusi dan penciptaan. Survei nasional oleh Pew Research Center menunjukkan bahwa 59% orang dewasa di AS percaya bahwa sains dan agama berada dalam konflik. Namun, perincian lebih lanjut mengungkapkan bahwa hanya 16% dari mereka yang sangat religius memegang pandangan ini, dibandingkan dengan 76% dari mereka yang tidak religius. Hal ini menandakan bahwa pandangan konflik mungkin lebih terkait dengan kurangnya keterlibatan dalam kehidupan beragama daripada dengan konflik inheren antara sains dan agama itu sendiri.

Lebih dari Sekadar Konflik: Harmoni dan Koeksistensi

Pandangan Zein et. all mengungkapkan bahwa banyak tokoh sejarah, termasuk Johann Gregor Mendel, Werner Heisenberg, dan Francis Collins, berhasil merangkul sains dan agama dalam kehidupan mereka. Bahkan, beberapa ilmuwan modern melihat keduanya sebagai sumber pengetahuan yang saling melengkapi. Temuan ini didukung oleh studi lintas budaya yang menunjukkan bahwa umat Buddha, Muslim, dan Hindu di Malaysia dan Singapura cenderung melihat sains dan agama sebagai hal yang kompatibel atau terpisah, tetapi tidak bertentangan.

Dalam artikelnya, Zein et.all mengidentifikasi beberapa cara utama di mana orang mengkonseptualisasikan hubungan antara sains dan agama:

  1. Pandangan Konflik: Sains dan agama dilihat sebagai dua domain yang tidak bisa didamaikan.
  2. Pandangan Kompartementalisasi: Sains dan agama dianggap sebagai dua domain yang sepenuhnya independen.
  3. Pandangan Komplementer: Sains dan agama dipandang sebagai domain otonom yang memiliki fitur yang serupa dan dapat direkonsiliasi.
  4. Pandangan Konsonansi: Sains dan agama dianggap memiliki asal yang sama dan saling terkait sebagai bagian dari sistem kepercayaan yang terpadu.
  5. Pandangan Pergeseran Konteks: Individu mungkin mengubah preferensi mereka tergantung pada konteks sosial atau instrumental.

Ada berbagai cara orang mengkonseptualisasikan hubungan antara sains dan agama. Beberapa melihatnya sebagai konflik yang tak terelakkan, sementara yang lain menganggap keduanya sebagai domain yang sepenuhnya independen atau bahkan saling melengkapi. Beberapa individu mampu mengubah preferensi mereka tergantung pada konteks sosial atau instrumental. Misalnya, mereka mungkin menggunakan penjelasan ilmiah untuk memahami proses biologis dan penjelasan religius untuk memberikan makna moral atau spiritual.

Zein, R. A., Altenmüller, M. S., & Gollwitzer, M. (2024).

Kepribadian, kemampuan kognitif, dan gaya berpikir juga memainkan peran penting dalam menentukan bagaimana seseorang memandang hubungan antara sains dan agama. Orang yang lebih terbuka terhadap pengalaman cenderung memiliki pandangan yang lebih kompleks dan nuansa tentang bagaimana sains dan agama dapat berdampingan. Mereka yang lebih baik dalam tugas-tugas pemikiran analitis cenderung kurang religius dan lebih mendukung penjelasan ilmiah. Pembentukan keyakinan melalui otoritas dan informan yang dianggap kredibel juga memainkan peran penting dalam pandangan ini. Keyakinan ilmiah cenderung dinilai berdasarkan bukti, sementara keyakinan religius lebih dipengaruhi oleh otoritas khusus.

Salah satu hal menarik dari artikel ini adalah bahwa beberapa individu mampu menggunakan penjelasan ilmiah dan religius secara bersamaan untuk memahami aspek-aspek berbeda dari fenomena yang sama. Strategi ini dikenal sebagai berpikir target-dependent, sintetis, dan integratif. Misalnya, seseorang mungkin menggunakan penjelasan ilmiah untuk memahami proses biologis dan penjelasan religius untuk memberikan makna moral atau spiritual.

Implikasi Praktis: Atasi Tantangan Penolakan Sains

Memahami bagaimana orang memandang hubungan antara sains dan agama memiliki implikasi praktis yang signifikan. Dalam contoh praktis misalnya, menghadapi tantangan seperti penolakan sains atau skeptisisme terhadap vaksin, pendekatan ini penting untuk memahami latar belakang psikologis dan budaya dari pandangan-pandangan ini. Jika kita bisa memahami mengapa sebagian orang melihat sains dan agama sebagai hal yang bertentangan, kita bisa merancang strategi komunikasi yang lebih efektif untuk mempromosikan pemahaman ilmiah tanpa merendahkan keyakinan religius mereka.

Jika kita bisa memahami mengapa sebagian orang melihat sains dan agama sebagai hal yang bertentangan, kita bisa merancang strategi komunikasi yang lebih efektif untuk mempromosikan pemahaman ilmiah tanpa merendahkan keyakinan religius mereka.

Zein, R. A., Altenmüller, M. S., & Gollwitzer, M. (2024).

Artikel ini memberikan wawasan berharga tentang kerumitan hubungan antara sains dan agama. Alih-alih melihat keduanya sebagai musuh abadi, penelitian ini menunjukkan bahwa ada berbagai cara di mana keduanya bisa dipahami dan diintegrasikan dalam kehidupan individu. Dengan pendekatan yang lebih bernuansa ini, kita dapat lebih baik dalam menjembatani kesenjangan antara sains dan agama di masyarakat kita, mempromosikan dialog yang lebih konstruktif dan saling menghormati. Melalui penelitian lebih lanjut dan dialog terbuka, kita bisa menciptakan masyarakat yang lebih inklusif di mana sains dan agama dapat hidup berdampingan secara harmonis, memberikan kontribusi yang unik dan penting bagi kemajuan manusia. Artikel ini mengingatkan kita bahwa hubungan antara sains dan agama jauh lebih kompleks dan bernuansa daripada yang sering digambarkan, dan pemahaman yang lebih dalam tentang hubungan ini adalah kunci untuk mengatasi banyak tantangan sosial kita saat ini.

Artikel sumber dapat diunduh lebih lengkap di:
Jurnal (Paywall)
Zein, R. A., Altenmüller, M. S., & Gollwitzer, M. (2024). Longtime nemeses or cordial allies? How individuals mentally relate science and religion. Psychological Review. https://dx.doi.org/10.1037/rev0000492

Post-Print
Zein, R. A., Altenmüller, M. S., & Gollwitzer, M. (2024, May 28). Longtime Nemeses or Cordial Allies? How Individuals Mentally Relate Science and Religion. https://doi.org/10.1037/rev0000492

Diterbitkan oleh iaridlo

Ilham Akhsanu Ridlo is an early-career researcher and assistant professor at the Faculty of Public Health, Universitas Airlangga in Indonesia. He is currently a Ph.D. student at Institut für Kommunikationswissenschaft und Medienforschung (IfKW), Ludwig-Maximilians-Universität München. Ilham believes that science communication is crucial in bridging the gap between research practice and health policy implementation. His research area is about how scientists and journalists influence decision-makers to understand scientific uncertainty in public health.

Tinggalkan komentar

Eksplorasi konten lain dari Indonesian Science Communication Labs (IDSCL)

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan membaca